Kamis, 25 Maret 2010

makalah management strategic

MAKALAH MANAGEMENT STRATEGIC
ANALISIS SWOT PADA BIDANG PERHOTELAN
HOTEL SALAK THE HERITAGE







DISUSUN OLEH:
VINA KURNIADI (21206007)
MARLINA (20206592)
MARIANAH PADANG (
YUSSIE FARLINA (21206083)
NURHAYATUN NUFUS (20206705)
GALIH FRANCO BAYU AJI (21206262)

4EB01



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2010

KATA PENGANTAR


Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah dari mata kuliah MANAGEMENT STRATEGIC, menganalisis SWOT pada bidang perhotelan, studi kasus pada HOTEL SALAK THE HERITAGE. Pembuatan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen yang bersangkutan.
Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof.E.S. Sri Margianti S.E.,MM., selaku rector Universitas Gunadarma
2. Bapak Ir.Toto Sugiharto,M.Sc.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma
3. Ibu DR. Rr. Dharma Tintri E.,S.E.,AK., MBA, selaku Ketua Jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma
4. Ibu Izzati Amperaningrum, SE., MM.
Selaku dosen dari mata kuliah Management Control System di kelas 4eb01.
5. Yang tercinta kedua Orang Tua serta dan saudara – saudara dari masing- masing penulis.
6. Semua rekan di kelas 4EB01.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini, masih banyak kekurangan-keurangan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membengun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas segala bantuan dan dukungan serta doa yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulisan ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya mahasiswa Universitas Gunadarma.

Depok, Maret 2010


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dunia pariwisata merupakan hal yang sangat menarik, bisa dikatakan bisnis di dalam bidang dunia ini tidak ada matinya. Berbagai tempat yang menarik membuat kita semakin tertarik untuk terus mendatangi tempat-tempat pariwisata. Salah satunya adalah kota Bogor yang dikenal sebagai kota Hujan, berbagai tempat-tempat indah di Bogor termasuk makanannya yang lezat membuat wisatawan betah untuk berkunjung ke kota Bogor. Hawa udaranya yang sejuk dan kawasan berbelanja juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal yang berasal dari Jakarta maupun kota-kota lainnya di Indonesia, wisatawan asing juga tertarik akan keindahan kota Bogor yang sangat terkenal akan Kebun Raya-Nya yang memilki banyak jenis tanaman yang eksotis yang berasal dari seluruh dunia.
Jika kita berwisata sambil menginap di suatu tempat tentunya yang pertama kali kita pikirkan adalah tempat dimana kita akan menginap, di Bogor terdapat hotel yang sangat terkenal yaitu Hotel Salak The Heritage .
Hotel Salak The Heritage dibangun 1856 dengan nama Belleuve Dibbets, sejak September 1998 hotel ini direnovasi dan dibuka kembali dengan arsitektur bergaya kolonial modern. Hotel Salak The Heritage menjadi saksi sejarah Bogor dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi. Sepintas Hotel Salak The Heritage tampak seperti gedung hotel yang masih baru hal ini disebabkan telah dilakukan renovasi untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas dari Hotel Salak The Heritage. Hotel ini merupakan satu-satunya hotel yang terletak di depan Istana Kepresidenan Bogor di sebelah Balai Kota tepatnya di Jl. Ir. H. Juanda No 8 Bogor yang didirikan di real seluas 8.227 m2.
Menurut sejarah pada zaman penjajahan Belanda Hotel salak The Heritage yang pada mulanya didirikan dan ditujukan untuk kalangan elit istana dan dimilki oleh keluarga istana. Perubahan zaman yang terus terjadi juga turut membuat Hotel Salak The Heritage berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan semakin majunya kota Bogor, Hotel Salak The Heritage juga melakukan tindakan-tindakan dalam mengembangkan sekaligus mempertahankan eksistensinya sebagai hotel yang yang paling terkenal di kota Bogor. Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen hotel merupakan salah satu strategi manajemen untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan kualitas dari Hotel Salak the Heritage mulai dari renovasi, kerjasama dengan supplier hingga tersedianya berbagai fasilitas lengkap merupakan strategi yang dilakukan oleh pihak manajemen.Tidak berhenti sampai di situ saja, Hotel Salak The Heritage juga terus melakukan inovasi yang membuat hotel ini menjadi semakin terkenal akan kualitasnya.
Dalam makalah berikut ini akan dibahas secara lebih mendetail langka-langkah (strategi) yang dilakukan oleh manajemen berikut kelemahan dan problem solving dengan menggunakan Analisis SWOT sebagai indikator dalam melakukan analisis terhadap Hotel Salak The Heritage.















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Sejarah Hotel Salak The Heritage
Kota hujan. Itu adalah nama yang paling dikenal Bogor, yang mempunyai curah hujan rata-rata 3336,8 mm / tahun. Bogor unik dan mempunyai sejarah panjang dengan Kebun Raya, Istana Bogor dan juga Hotel Salak The Heritage. Hotel Salak The Heritage merupakan situs tertua tetap yang mencatat dan saksi sejarah Bogor, dari penjajahan Belanda dan Jepang, Masa Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi untuk periode di Indonesia Baru Milenium III. Berbagai peristiwa-peristiwa penting diselenggarakan di Bogor, seperti Pra-Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Istana Bogor, APEC pada tahun 1994, dan banyak acara internasional lainnya. Istana Bogor telah ditetapkan sebagai penerimaan resmi kepresidenan.
Sepintas, Hotel Salak The Heritage tampak seperti bangunan baru dan tidak mencerminkan usia dewasa, karena telah direnovasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk kualitas.
Hotel Salak The Heritage adalah warisan satu-satunya hotel yang terletak di depan Istana Kepresidenan Bogor sebelah Balai Kota, di Jl. Ir. H. Juanda No 8 Bogor. It was built on luas 8.227 m2. Hotel Salak The Heritage terdiri dari empat bagian utama. Pertama adalah bagian depan, bernama Heritage Building, yang merupakan dua - direnovasi bangunan bersejarah. Kedua dan bagian ketiga adalah sayap kiri dan kanan, yang memiliki dua dan empat lantai, masing-masing. Bagian keempat adalah bagian belakang dengan lima lantai, dilengkapi dengan salah satu operator mengangkat dan dua tamu lift.
Selama Pemerintah Belanda (VOC) pada abad ke-17, Bogor itu bernama Buitenzorg, yang berarti "kota untuk istirahat" atau "kota tanpa formalitas" (Buiten Alle Zorgen sebagai kata Belanda) Istana Bogor ini digunakan oleh VOC Jenderal sebagai tempat untuk beristirahat . Bogor pada tahun 1908 adalah pemerintah pusat dan tempat hunian Governour Jenderal. Seperti sejuk dan memiliki pemandangan yang indah, Bogor telah menjadi pusat penelitian tentang tanaman tropis dan perkebunan di Sukabumi, Cianjur dan Bogor.
Menurut sejarah, Hotel Salak The Heritage ini dibangun tahun 1856 bernama Bellevue - Dibbets Hotel; hal itu dikategorikan sebagai hotel untuk Kelompok elit Istana dan dimiliki oleh keluarga Istana. Hotel milik seorang Belanda yang memiliki hubungan keluarga dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Itu berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat dan tinggal, dan sebagai tempat pertemuan bagi para pengusaha pertanian dan administrator dan staf pemerintah.
Pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942 Agustus 1945, Hotel Salak The Heritage yang memiliki 54 kamar menjadi markas Kempetai (Polisi Militer).Kemerdekaan di Indonesia pada tahun 1945 dipengaruhi Binnenhof Hotel; pada tahun 1948 namanya berubah menjadi Hotel Salak seperti yang terletak di kaki Gunung Salak (Gunung Salak).
Seiring dengan pertumbuhan pesat Bogor sebagai kota konvensi, rapat, seminar, pariwisata, pendidikan dan penelitian di perkebunan tropis, Bogor menjadi daya tarik yang potensial bagi pengunjung domestik dan internasional. Setiap tahun, jumlah pengunjung dan tamu pemerintah yang terus meningkat konferensi, karena itu, Bogor memerlukan infrastruktur internasional yang sesuai. Untuk mengakomodasi semua persyaratan, Hotel Salak direnovasi dan dipugar.
Pada tanggal 2 September 1991, Hotel Salak menangguhkan operasi untuk dikembangkan sebagai hotel bintang. Pembangunan dimulai setelah izin dari pemerintah dinyatakan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No 193/8550/Binsar tanggal 19 Juli 1991 dan Surat Keputusan dari Menteri Urusan Internal Republik Indonesia tanggal 27 Januari 1992 Nomor . 539.32/359/PUOD dikeluarkan untuk PT Anugrah Jaya Agung untuk mengembangkan dan mengoperasikan Hotel Salak Bogor.
Menurut sebuah survei, yang disukai jenis awal hotel ini Pariwisata dan Business Hotel dengan standar internasional. Sejarah tua dan bangunan arsitektur kolonial dipertahankan sebagai penangkap mata untuk lingkungan, dan direncanakan untuk menjadi Boutique Hotel bagi wisatawan khusus (Khusus Wisata), karena Hotel Salak adalah salah satu dan baik - melestarikan bangunan bersejarah tetap di Bogor. Bagian belakang hotel diperluas untuk menjadi Bisnis dan University Hotel. Setelah renovasi dan perluasan bangunan baru di tahun 2000, total jumlah kamar meningkat menjadi 120, yang terdiri dari Presidential Suite, Super Executive, Salak View, Executive, Deluxe Suite, Deluxe & Superior.
Hotel Salak adalah salah satu aset penting bagi orang-orang di Jawa Barat, khususnya masyarakat Bogor, karena Bogor memiliki tinggi dan nilai sejarah panjang dan terletak di pintu gerbang Jawa Barat (sekitar 30 menit dari Jakarta melalui jalan tol) dan dijaga oleh gedung pemerintah (City Hall, Residensi, Jaksa, Samsat).
Pada tanggal 11 September 1998, yang baru Hotel Salak yang bernama Hotel Salak The Heritage dengan standar internasional berangsur-angsur kembali - dioperasikan, dimulai dengan menyediakan 32 kamar yang terdiri dari dua Presidential Suite, empat Executive Suites, delapan Kamar Deluxe dan 18 Kamar Standar. Fasilitas pendukung lainnya adalah kenari Cafe, Rafflesia Lounge Bar, Istana Ballroom, Meeting Room dan Galuh Perbelanjaan (mis. business Center, Gift dan Art Shop, Boutique, Toko Bunga dan Drug Store).
Pembangunan dan pengoperasian Hotel Salak The Heritage itu terjadi bersama-sama dengan krisis moneter besar-besaran di Indonesia. Ada inflasi AS $ nilai tukar, dari Rp. 2,300 per US $ menjadi Rp. 17,000 per US $ pada akhir 1997 dan awal 1998. Namun, krisis tidak mempengaruhi manajemen hotel untuk terus mengembangkan dan mempertahankan keberadaan Hotel Salak The Heritage.
Pada tanggal 1 April 1999, Hotel Salak The Heritage dibuka kembali dan dioperasikan lain 40 kamar, dengan total 72 kamar, bersama dengan pertumbuhan bisnis di Bogor. Fasilitas tambahan yang dikembangkan pada tahun 1999 adalah Kinanti Music Cafe dengan kapasitas 300 kursi, Rudy salon, Batutulis Meeting Room, Burangrang Meeting Room dan Restoran.
Pada akhir Februari 2000, Hotel Salak The Heritage menambahkan lagi 24 kamar, sehingga total jumlah kamar adalah 96. Mengantisipasi permintaan pelanggan dan pengembangan pasar pada pertengahan tahun 2000, Hotel Salak The Heritage telah menambahkan beberapa kamar lain untuk melengkapi 120 kamar.
Hotel Salak prestasi dalam menciptakan citra sebagai pusat konferensi ini dibuktikan dengan meningkatnya permintaan untuk pelatihan, seminar, pertemuan dan konferensi pengaturan di Hotel Salak The Heritage Bogor.Manajemen telah memutuskan untuk membangun 4 ruang pertemuan: bernama Pakuan, Padjajaran 1, Padjadjaran 2, dan Padjadjaran 3. Pakuan Meeting Room dengan kapasitas 70 orang telah dibangun sepenuhnya pada Maret 2001.Kemudian pada Juni 2003, kami telah selesai membangun tiga ruang pertemuan dengan kapasitas 40-100 orang per kamar.
Dalam rangka untuk menyenangkan dan kenyamanan tamu-tamu kami, kami juga membangun beberapa fasilitas baru. Ada Raffles Fitness Center, Kinanti Klub Anak-Anak, dan Kinanti Ruang Musik dengan musik kafe; yang telah dibuka sejak Juni 2000.
Restoran Ayam Goreng Fatmawati dengan layanan pengiriman telah dibuka sebagai restoran tradisional pada tahun 2001 untuk membuat Makanan & Minuman kami produk dan layanan yang lebih menarik dan memberikan berbagai pilihan kepada para tamu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Hotel Salak peduli dengan mempromosikan Makanan Tradisional Indonesia, khususnya Sunda satu, dan berniat untuk melayani dengan standar internasional.
Hotel Salak terus berinovasi dan mengembangkan fasilitas dengan membuka kafe baru yang disebut Den Haaq Cafe pada Desember 2003. Den Haag Cafe ini dibuka untuk memenuhi kerinduan tamu kami ke ketegangan dan kesegaran Kota Bogor dengan menampung mereka dengan Belanda kue lezat dan kue-kue.
Pada tahun 2005, kami telah mengembangkan beberapa fasilitas baru untuk para tamu. Smart Kids Planet, klub anak-anak dan kelompok bermain bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, telah dibuka pada awal tahun. Yang kedua adalah Herbal Information Center, di mana orang dapat memiliki konsultasi gratis tentang masalah kesehatan dan obat-obatan oleh beberapa terapi alternatif.Herbal Tempat ini juga memberikan dukungan dan menjual berbagai tanaman obat sebagai cara alternatif pengobatan tanpa menggunakan obat kimia. Salon Rudy telah direformasi dan dibuka kembali sebagai Bellevue Wellness Salon dan Spa untuk menjadi tempat di mana wanita kami tamu dapat meremajakan tubuh mereka melalui perawatan spa atau perawatan kecantikan rambut &.Selain Bellevue Wellness Salon dan Spa, kami juga menyediakan Bellevue Barbershop untuk Tuan-tuan. Resepsi pernikahan atau perusahaan mengumpulkan akan lebih nyaman untuk para tamu karena pra baru - fungsi ruangan yang telah dilengkapi di Istana Ballroom. Rafflesia Lounge juga telah memperluas ruang dan didekorasi ulang gaya ke sebuah tempat untuk cozier lobi dan bersantai atau berselancar di dunia maya dengan gratis yang disediakan Wi-Fi Internet Access. Fasilitas terakhir yang kami sediakan adalah anak-anak bermain dengan bermain keselamatan kit, "Playful Big Folding Slide" di Inner Garden.
Bangga masyarakat pelestarian Hotel Salak bangunan karena merupakan salah satu yang paling tua dan bangunan bersejarah terbesar di Bogor yang menunjukkan pentingnya dan nilai historis kota Bogor dalam sejarah Indonesia.Untuk sekelompok orang, kembali - pembukaan Hotel Salak The Heritage juga menciptakan kesempatan karir di krisis waktu dan pada masa mendatang.
Hotel Salak The Heritage, sebagai bangunan bersejarah, harus mampu bersaing dan ditingkatkan; sebagai hasilnya, harus didukung oleh manajemen yang mampu, profesional sumber daya manusia, pelayanan memuaskan dan fasilitas yang sesuai.
Untuk membuat Hotel Salak The Heritage lebih akrab dan menarik di antara masyarakat nasional dan internasional, kami telah bekerjasama dengan beberapa yayasan nasional dan internasional. Salah satu fondasi yang mendukung Hotel Salak The Heritage adalah The Heritage Bogor Foundation, yang telah didirikan pada tahun 2003. Yayasan ini memiliki misi untuk mengembangkan dan meningkatkan beberapa kota seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi. Salah satu program adalah program energi alternatif untuk mengubah tenaga angin menjadi energi listrik dengan menggunakan kincir angin. Setiap tahun yayasan ini juga memberikan penghargaan, bernama Salak Award, bagi siapa saja yang telah mempersembahkan sebuah kontribusi besar kepada masyarakat.
Yayasan lain yang mendukung Hotel Salak The Heritage adalah hAlllow Hadi Purnomo Foundation. Yayasan ini memiliki misi untuk meningkatkan kehidupan orang-orang dengan kebutaan melalui organisasi, bernama Merpati Putih.Organisasi ini telah menerapkan budaya tradisional dari Kerajaan Mataram Jawa Tengah, dan telah berhasil membantu orang-orang yang buta untuk memiliki visi mereka lagi. Budaya ini menjadi bagian penting dan titik menawan yang unik bagi wisatawan untuk mengunjungi Bogor, karena nilai-nilai sejarah.
Hotel Salak The Heritage saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mengundang tamu internasional, khususnya dari Belanda dan Jepang sehingga mereka dapat merasakan suasana masa lalu dan kenangan lama. Pengembangan Hotel Salak The Heritage ini dilakukan tanpa perubahan apapun pada bangunan bersejarah yang berharga dan menciptakan devisa negara untuk kawasan wisata. Mengacu pada tujuan-tujuannya, Hotel Salak The Heritage ini diharapkan tumbuh dan mampu mempromosikan Indonesia, khususnya Bogor, di negara lain sebagai tujuan wisata.
Beberapa bangunan bersejarah lainnya telah berkurang dan berkurang oleh beberapa orang yang tidak memahami arti dan pentingnya melestarikan nilai-nilai historis. Warisan sejarah adalah bukti dari negara perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, yang harus dilestarikan untuk generasi muda kita identitas.
Hotel Salak The Heritage selalu menghormati norma-norma internasional dan nilai-nilai, dan semangat profesionalisme. Para Komisaris dan Direksi selalu menerapkan norma-norma yang beredar, nilai, dan jiwa; dan mereka selalu menghormati keadilan sebagai dasar atau landasan untuk mengelola dan mengoperasikan perusahaan, sehingga Hotel Salak The Heritage mampu mencapai semua keberhasilan dan mengatasi kesulitan atau masalah.
Dalam hal ini, Hotel Salak The Heritage merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Daerah Jawa Barat dengan PT. Anugrah Jaya Agung. Di antara keduanya terdapat kontrak perjanjian usaha atau dikenal dengan istilah KSO ( Kerja Sama Operasi) yang akan berakhir pada tanggal 24 Juli 2018.
2.2 Fasilitas Pada Hotel Salak The Heritage
Hotel Salak The Heritage juga memiliki banyak fasilitas pendukung yang membuat tamu kami merasa nyaman dan nyaman tinggal bersama kami.
Ini adalah daftar fasilitas pendukung kami:
1. Business Center
2. Pusat Kebugaran
3. Paradise Travel
4. Smart Kids Planet & Children Playground
5. Swimming Pool & Inner Garden
6. Bellevue Wellness Salon, Spa dan Barbershop
7. Herbal Place
8. Drugstore & Art shop
9. Internet Corner
10. Aesthetic Dentist
11. ATM Center
12. Sistem Keamanan & Keselamatan

Kamar dilengkapi dengan kondisi udara, dinding - pada - dinding karpet, bathtub & shower, kamar mandi, air panas & dingin, televisi dengan saluran satelit internasional & dalam - rumah film, mini bar & coffee maker, dan telepon dengan fasilitas IDD.
Harga Kamar:
Superior Rp. 770,000, - + + US $ 100 + +
Deluxe Rp. 880,000, - + + US $ 120 + +
Deluxe Suite Rp. 1.300.000, - + + US $ 150 + +
Salak View Rp. 1.800.000, - + + US $ 200 + +
Colonial Heritage Eksekutif US $ 1.000 + +
Kolonial Super Eksekutif US $ 1,500 + +
Kolonial Presidential Suite US $ 2,500 + +
Extra Bed Rp. 200.000, - + + US $ 20 + +

Tarif tersebut termasuk sarapan dan termasuk 21% pajak & pelayanan. Harga dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Berlaku pada tahun 2010.
Kami juga menyediakan kamar untuk pengemudi (Driver Kamar).




Hotel Salak The Heritage memiliki 6 Makanan & Minuman Outlet dengan berbagai makanan dan minuman tersedia, suasana nyaman, dan mewah dekorasi dalam suasana formal maupun informal. Outlet ini sangat sempurna untuk menghibur atau makan dengan klien Anda, keluarga, atau teman-teman. Selain menu yang halus Amerika, Eropa, atau masakan Indonesia, masing-masing outlet memiliki pemandangan indah dan kami staf ahli dan profesional selalu siap untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi Anda.

Kenari Rafflesia





Hotel Salak The Heritage adalah tempat yang paling ideal untuk akomodasi, rapat, insentif, konvensi dan pameran bagi para pebisnis.
Kami menyediakan 12 ruang pertemuan dengan kapasitas mulai 10-1.500 orang, dan semua ruang pertemuan yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap seperti OHP + Screen, White Board + Marker, Flip Chart, Microphone + Sound System, Notepad + Pen, Podium, Pendaftaran Desk, Flower Arrangement, Meeting Attendant's Name-tag, Mineral Water dan Mints, Meeting Room Attendant, Fire Safety Presentation, dll
Kami menyediakan
1. Half Day Meeting Package - Facilities: (Meeting Room and Meeting Room Amenities, Lunch atau Dinner, 1x Coffe break)
2. One Day Meeting Package - Facilities: (Meeting Room and Meeting Room Amenities, Lunch atau Dinner, 2x Coffe break)
3. Full Day Meeting Package - Facilities: (Meeting Room and Meeting Room Amenities, Lunch & Dinner, 2x Coffe break)
Our Client
Oil & Gas Companies, Embassies, Institusi Pemerintah, Perusahaan Asing, Etc

Layanan
Hotel Salak The Heritage ini juga didukung oleh beberapa layanan seperti:
1. Wedding Organizer
HSTH bekerjasama dengan Bee Wedding & Party Organizer menyediakan pernikahan satu atap, di mana semua kebutuhan pernikahan Anda termasuk pasangan pernikahan sehingga tak perlu khawatir dan dapat berkonsentrasi penuh untuk kegiatan sehari-hari mereka.



2. Outbound Organizer
Penting bagi perusahaan untuk membangun & memelihara kerja sama tim, sehingga perusahaan akan mencapai tujuannya.
Membangun tim kerja yang baik bisa memakan waktu yang lama tetapi program outbound kami dipersiapkan dengan baik untuk memecahkan masalah.
Kami membuat beberapa program yang akan mendukung dan perilaku positif karyawan.http://www.beeoutbound.com


3. Bogor Hotel Institute
Bogor Hotel Institute: Salah satu Best Hotel Sekolah di Bogor
Bogor Hotel Institut, adalah salah satu sekolah di Bogor hotel yang naik oleh Hotel Salak The Heritage pada tahun 1999 sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan bagi orang Bogor.
Sejak tahun 2004, Bogor Hotel Institute adalah sepenuhnya dikelola oleh Hotel Salak The Heritage dan telah berkomitmen untuk Wisata Indonesia dengan menghasilkan proffesional di Hospitality Industri.
Perhotelan Dunia Industri ini berkembang pesat dan tidak pernah berhenti, dengan demikian memberikan Huge Career Opportunity di Hotel dan Resort global perusahaan, Cruise Ship, Travel Agent, Apartemen, Etc




4. Training & Conference
BTCO, sebagai penyedia pelatihan untuk semua jenis perusahaan terutama untuk Minyak dan Gas Company, selalu mempersiapkan program pelatihan berkualitas tinggi yang dapat tersirat dalam operasional perusahaan.

5. Party Organizer
Kami juga didukung oleh Party Organizer yang menyediakan hiburan bagi tamu kita maupun untuk umum.
Party Organizer yang telah berhasil menyelenggarakan beberapa kegiatan besar seperti:
• konser musik Maliq d'esensial, Rio Febrian, Marcell, Glenn Fredly, Syahrani, Wong Pitoe, Buitenzorg Jazz dengan Idang Rasyidi & Musisi Jazz yang lain, dll
o Bogor Lelang,
o Launching produk,
o Pameran
o etc

Acara Malik & d’essentials





2.3 Analisis SWOT
Dilihat dari latar belakang, sejarah, serta segala fasilitas yang disediakan oleh Hotel Salak The Heritage, kita dapat menganalisis hotel tersebut dengan melihat aspek- aspek seperti Strenght (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (Peluang), serta Threat (Ancaman).
a. Strenght (Kekuatan)
- Hotel Salak The Heritage mempunyai tempat yang sangat strategis yaitu berada di jantung Kota Bogor, merupakan hotel bintang 4.
- Hotel ini merupakan bentuk kerjasama antara Pemerintah Daerah Jawa Barat yang dalam hal ini bekerja sama dengan PT Anugrah Jaya Agung.
- Memiliki market share yang cukup besar, kemampuan pengembangan sarana dan prasarana yang baik,
- Produktivitas dalam hal tingkat hunian yang tinggi, kemampuan pengembangan sarana dan prasarana yang baik
- Didukung dengan tingkat pendidikan karyawan yang baik, ditambah dengan membuka suatu program pendidikan tersendiri yaitu Bogor Hotel Institute.
- Kemampuan inovasi dan pembaruan yang baik dan program tanggung jawab sosial yang baik.

b. Weakness (Kelemahan)
- Memiliki profitabilitas yang rendah,
- Kemampuan pengelolaan dana tunai rendah dan
- Tingkat turn over karyawan yang tinggi.

c. Opportunity (Peluang)
- Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
- Pembukaan cabang di daerah-daerah lain.
- Sebagai salah satu sarana dalam penyediaan tempat bagi perhelatan atau kunjungan berskala nasional maupun internasional.
- Menjalin kerjasama dengan agen tour and travel.

d. Threats (Ancaman)
- Adanya inflasi yang tinggi,
- Penambahan jumlah pesaing,
- Kebijakan otonomi daerah dan gangguan keamanan.
- Persaingan yang cukup signifikan dalam penentuan tarif atau harga.
- Biaya yang cukup tinggi.

Rabu, 11 November 2009

SIKAP AKUNTAN TERHADAP ADVERTENSI AKUNTAN PUBLIK

Akuntan merupakan profesi yang dalam pelaksanaannya selalu didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Menurut Kell (1984: 15) akuntan sebagai suatu profesi telah memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Ijin kepada orang yang mempunyai kualifikasi untuk melaksanakan praktek profesional.
2. Mengembangkan prinsip akuntansi berterima umum dan standar profesional untuk jasa akuntansi dan auditing serta pengendalian kualitas.
3. Pendidikan berkelanjutan terhadap prinsip-prinsip akuntansi dan standar profesional bagi akuntan yang melakukan praktik.
4. Pengujian kepatuhan kepada standar profesional secara periodic dan teratur.
5. Investigasi terhadap temuan pelanggaran dari praktik yang tidak dapat diterima.
6. Mempertahankan aturan yang sudah memadai.

Tanya K. Flesher dan Dale L. Flesher (1994) yang dikutip Payamta dkk. (1997) menyatakan sepuluh karakterisik profesi seperti berikut ini :
1. Suatu profesi menawarkan jasa keahlian yang tinggi dan masyarakat pada umumnya tidak mampu melakukannya.
2. Suatu profesi mempunyai pendidikan yang sangat memadai.
3. Suatu profesi mempunyai tanggung jawab atas pekerjaannya.
4. Suatu profesi mempunyai anggota yang integritasnya tidak disangsikan.
5. Suatu profesi mempunyai kode etik yang memuat standar pelaksanaan profesi.
6. Suatu profesi dibutuhkan untuk analisis dan pengembangan pemecahan.
7. Suatu profesi membutuhkan pendidikan berkelanjutan.
8. Suatu profesi ditugasi mempelopori jalan keluar hal-hal baru.
9. Suatu profesi tidak semata-mata dimotivasi oleh perkembangan moneter.
10. Suatu profesi mempunyai anggota profesi.

Sejalan dengan tuntutan perkembangan lingkungan bisnis, berbagai perbaikan dan penyempurnaan Standar Akuntansi Keuangan, Standar Profesional Akuntan Publik maupun Kode Etik Akuntan Indonesia terus dilakukan. Salah satunya pernyataan Etika Profesi Nomor 4 tahun 1994 tentang pelarangan advertensi jasa akuntan publik, telah direvisi dengan aturan Etika Profesi nomor 502 tahun 2000 yang memperbolehkan KAP melakukan promosi dan kegiatan pemasaran lainnya

Pelonggaran Kode Etik ini menimbulkan permasalahan apakah akuntan publik harus beriklan atau tidak, informasi apa yang seharusnya dimuat jika mereka beriklan dan media apa yang sebaiknya digunakan (Hite dan Fraser, 1988). Apakah konsumen akan beranggapan bahwa advertensi oleh akuntan tidak etis dan harus dihindari ataukah sebaliknya, konsumen akan menghargai informasi dalam advertensi dan memilih akuntan yang menawarkan keunggulannya.

Secara umum iklan merupakan cara penyampaian pesan melalui media tertentu seperti majalah, surat kabar, radio, televisi, dan surat yang bertujuan untuk mempengaruhi orang untuk membeli suatu produk atau jasa, atau untuk menghasilkan reaksi tertentu. Iklan bagi suatu KAP bisa menjadi media yang efektif untuk menyediakan informasi bagi calon klien mengenai jasa yang tersedia (Cooper et. al., 1990).

Iklan dalam kode etik akuntan Sebagian besar kaum profesional menganggap advertensi sebagai aktivitas yang tabu sebab mereka berpendapat bahwa advertensi merupakan aktivitas yang tidak profesional. Advertensi dipersepsikan dapat menurunkan kualitas jasa profesi. Namun sebagian professional berpendapat bahwa advertensi yang baik justru akan meningkatkan rasa tanggungjawab sehingga kualitas jasa profesi tetap terjaga.

Lingkup khusus yaitu profesi akuntan publik, akuntan terikat pada kode etik yang merupakan etika yang telah disepakati bersama oleh anggota suatu profesi. Kode etik ini berhubungan dengan kebebasan disiplin pribadi dan integritas moral dan profesi. Namun, kelonggaran di bidang pemasaran bagi akuntan ini dipengaruhi oleh sikap dari akuntan publik sendiri. Artinya, meskipun seorang akuntan sudah diberi kelonggaran untuk beriklan namun kemungkinan ia lebih memilih untuk tetap menggunakan cara-cara lamanya dalam beriklan.

Menurut saya tentang masalah sikap akuntan terhadap advertensi jasa akuntan public ini, seorang akuntan yang menggunakan jasa periklanan untuk mengiklankan dirinya sebagai akuntan public itu wajar saja sesuai dengan Aturan Etika Profesi IAI-KAP yang memperbolehkan advertensi bagi akuntan publik karena itu adalah salah satu cara mempromosikan atau menjual jasa agar para konsumen (pengguna jasa akuntan) dapat mengetahui akuntan mana yang akan meraka jadikan pilihan. Yang kedua menurut saya dengan adanya advertensi seperti ini bukan berarti seorang akuntan melakukan kegiatan yang tidak professional karena menurut saya akuntan itu harus mempromosikan diri agar para klien atau konsumen dalam hal ini pengguna jasa akuntan benar-benar mengetahui kemampuan akuntan tersebut dalam bidang akuntansi. Dan di dalam data yang saya temukan di internet ada penelitian tentang hal ini dan hasilnya pun positif bahwa akuntan secara umum sudah memiliki sikap positif terhadap advertensi jasa
akuntan public, namun para akuntan public ini masih bersikap negative dengan aspek harga dan intervensi pemerintah. Mungkin pemerintah menaruh tarif tentang advertensi ini terlalu tinggi sehingga para akuntan public pun masih banyak yang tidak melakukan advertensi sebagai alat promosi. Tetapi sebaliknya dengan sikap akuntan non public mereka besikap positif terhadap semua aspek dan menerimanya. Dari hasil penelitian yang saya temukam di internet tentang hal ini terdapat kesimpulan bahwa Akuntan publik dan akuntan non publik tidak mempunyai perbedaan sikap yang signifikan. Dalam hal ini kedua kelompok akuntan tersebut sama-sama memiliki sikap positif. Berkaitan dengan jenis jasa yang sebaiknya diiklankan kedua kelompok akuntan tersebut berpendapat bahwa jasa konsultasi yang sebaiknya diiklankan. Akuntan publik berpendapat bahwa spesialisasi merupakan jasa yang paling cocok diadvertensikan. Sedangkan, akuntan non publik berpendapat ketersediaan jasa yang paling cocok. Akuntan publik dan akuntan non publik menganggap media yang paling cocok digunakan untuk beriklan adalah majalah professional dan diketahu telah terjadi perubahan sikap para akuntan, perubahan tersebut dimungkinkan karena tuntutan bisnis yang semakin menghendaki keterbukaan selain itu juga Aturan Etika Profesi IAI-KAP yang memperbolehkan advertensi bagi akuntan publik merupakan alasan yang paling, mendasar bagi akuntan untuk menunjukkan sikap positifnya.

Rabu, 04 November 2009

KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA

Pendahuluan
Pemberlakuan dan Komposisi

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan terse but terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:

  • Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
  • Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
  • Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
  • Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

(1) Prinsip Etika,

(2) Aturan Etika, dan

(3) Interpretasi Aturan Etika.

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.

Kepatuhan

Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.

Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PRINSIP ETlKA PROFESI

IKATAN AKUNTAN INDONESIA

Mukadimah

01. Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan.

02. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi

Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Prolesi

Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

01. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua – Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

01. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepacla obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.

02. Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.

03. Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritar, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.

04. Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.

05. Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

06. Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya seorang akuntan harus mengikuti standar profesi yang dititik-beratkan pada kepentingan publik, misalnya:
auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporan keuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalam organisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya organisasi;
auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kerja kepada pihak luar.
ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yang adil dari sistem pajak; dan
konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap kepentingan umum dalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.

Prinsip Ketiga – Integritas

Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

01. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.

02. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

03. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.

04. Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.

Prinsip Keempat – Obyektivitas

Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

01. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.

02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

03. Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut:

a. Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu obyektivitasnya.

b. Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.

c. Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.

d. Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.

e. Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.

Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.

01. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.

02. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase yang terpisah:

a. Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.

b. Pemeliharaan Kompetensi Profesional.
Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan.
Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten dengan standar nasional dan internasional.

03. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung-jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggung-jawab yang harus dipenuhinya.

04. Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.

05. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.

Prinsip Keenam – Kerahasiaan

Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya

01. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.

02. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.

03. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.

04. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.

05. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung-jawab anggota berdasarkan standar profesional.

06. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.

07. Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan.

a. Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dapat terpengaruh harus dipertimbangkan.

b. Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum; dan
untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.

c. Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip etika ini;
untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang pengadilan;
untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI atau badan profesionallainnya;.dan . untuk menanggapi permintaan atau investigasi oleh IAI atau badan pengatur.

Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi:

01. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi hams dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

Prinsip Kedelapan - Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.

01. Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.


Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia

8 KAP yang dibekukan

Pemerintah melalui menteri keuangan RI Sri Mulyani sejak awal september 2009 telah menetapkan pemberian sanksi pembekuan izin usaha kepada 8 Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Penetapan sanksi pembekuan izin usaha itu berdasarkan peraturan menteri keuangan NO.17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik.

Mereka yang terkena sanksi adalah :

1. AP. Drs. Basyiruddin Nur
2. Ap. Drs. Hans Burhanuddin Makarao
3. AP. Drs. Dadi Muchidin
4. KAP. Drs. Dadi Muchidin
5. KAP. Matias Zakaria
6. KAP. Drs. Soejono
7. KAP. Drs. Abdul Azis B
8. KAP. Drs. M. Isjwara

Ada berbagai alasan yang menyebabkan Menteri Keuangan memberi sanksi untuk pembekuan izin usaha pada 8 AP dan KAP. Seperti :
1) AP. Drs. Basyiruddin Nur yang dibekukan tanggal 2 september 2009 selama 3 bulan, ia belum sepenuhnya memenuhi Standar Auditing (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAAP) dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan konsolidasi PT. Dascrip dan anak perusahaan tahun buku 2007.
2) Ap. Drs. Hans Burhanuddin Makarao yang dibekukan tanggal 9 september 2009. Ia belum sepenuhnya memenuhi Standar Auditing (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAAP) dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan PT. Samcon tahun buku 2008, yang dinilai berpotensi cukup signifikan terhadap laporan auditor independen.
3) AP. Drs. Dadi Muchidin yang dibekukan tanggal 4 september 2009 selama 3 bulan, karena sesuai dengan ketentuan pasal 71 ayat 3 peraturan menteri keuangan bahwa izin AP pemimpin KAP dibekukan apabila izin usaha KAP dibekukan.
Auditor lainnya,
4) KAP Drs. Dadi Muchidin yang dibekukan tanggal 4 september 2009 selama 3 bulan karena KAP tersebut telah mendapat peringatan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 48 bulan terakhir. Bahkan sampai saat ini melakukan pelanggaran lainnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2008.
5) KAP. Matias Zakaria yang dibekukan tanggal 7 september 2009 selama 3 bulan karena KAP tersebut telah mendapat peringatan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 48 bulan terakhir. Bahkan sampai saat ini melakukan pelanggaran lainnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2007 hingga 2008.
6) KAP. Drs. Soejono yang dibekukan tanggal 7 september 2009 selama 3 bulan karena KAP tersebut telah mendapat peringatan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 48 bulan terakhir. Bahkan sampai saat ini melakukan pelanggaran lainnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2005 hingga 2008.
7) KAP. Drs. Abdul Azis B yang dibekukan tanggal 7 september 2009 selama 3 bulan karena KAP tersebut telah mendapat peringatan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 48 bulan terakhir. Bahkan sampai saat ini melakukan pelanggaran lainnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2005, 2007, dan 2008.
8) KAP. Drs. M. Isjwara yang dibekukan tanggal 7 september 2009 selama 3 bulan karena KAP tersebut telah mendapat peringatan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 48 bulan terakhir. Bahkan sampai saat ini melakukan pelanggaran lainnya yaitu tidak menyampaikan laporan tahunan KAP tahun takwin 2007 dan 2008.

Saya mendapatkan informasi 8 KAP yang dibekukan dari detik. com dan menurut saya, Menteri keuangan sudah tepat untuk pemberian sanksi pembekuan izin usaha kepada 8 Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP) karena mereka belum sepenuhnya memenuhi Standar Auditing (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAAP) dalam pelaksanaan audit umum.

Jumat, 30 Oktober 2009

Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal

PENDAHULUAN

Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian pula error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.

Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001).

Terjadinya kecurangan– suatu tindakan yang disengaja - yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa banyak kerugian. Meski belum ada informasi spesifik di Indonesia, namun berdasarkan laporan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), pada tahun 2002 kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan di Amerika Serikat adalah sekitar 6% dari pendapatan atau $600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak banyak berubah dari tahun 1996. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%), kemudian disusul dengan korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu median kerugian sekitar $4,25 juta (ACFE 2002).

Kasus-kasus skandal akuntansi dalam tahuntahun belakangan ini memberikan bukti lebih jauh tentang kegagalan audit yang membawa akibat serius bagi masyarakat bisnis. Kasus seperti itu terjadi pada Enron, Global Crossing, Worldcom di Amerika Serikat yang mengakibatkan kegemparan besar dalam pasar modal. Kasus serupa terjadi di Indonesia seperti PT Telkom dan PT Kimia Farma. Meski beberapa salah saji yang terjadi belum tentu terkait dengan kecurangan, tetapi faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan kecurangan oleh manajemen terbukti ada pada kasus-kasus ini.

Sebagai contoh di Indonesia dapat dikemukakan kasus yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk (PT KF). PT KF adalah badan usaha milik Negara yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa. Berdasarkan indikasi oleh Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam (Bapepam, 2002) ditemukan adanya salah saji dalam laporan keuangan yang mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3 % dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan menggelembungkan harga persediaan yang telah diotorisasi oleh Direktur Produksi untuk menentukan nilai persediaan pada unit distribusi PT KF per 31 Desember 2001. Selain itu manajemen PT KF melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha. Pencatatan ganda itu dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh auditor eksternal.

Terhadap auditor eksternal yang mengaudit laporan keuangan PT KF per 31 Desember 2001, Bapepam menyimpulkan auditor eksternal telah melakukan prosedur audit sampling yang telah diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT KF menggelembungkan keuntungan. Bapepam mengemukakan proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT KF. Atas temuan ini, kepada PT KF Bapepam memberikan sanksi administratif sebesar Rp 500 juta, Rp 1 milyar terhadap direksi lama PT KF dan Rp 100 juta kepada auditor eksternal (Bapepam 2002).

Menjadi permasalahan yang menimbulkan pertanyaan di sini: Mengapa auditor eksternal gagal dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan seperti yang dicontohkan di atas? Mestinya bila auditor eksternal yang bertugas pada audit atas perusahaan-perusahaan ini menjalankan audit secara tepat termasuk dalam hal pendeteksian kecurangan maka tidak akan terjadi kasus-kasus yang merugikan ini. Faktor apa saja yang menghalangi auditor eksternal dapat menjalankan tugasnya sehingga kecurangan dapat terdeteksi? Selanjutnya bila faktor tersebut terjawab, bagaimana upaya perbaikan sehingga auditor eksternal mampu memenuhi harapan pengguna laporan keuangan?

Mengingat akan arti pentingnya tanggung jawab auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktorfaktor penyebab kegagalan auditor eksternal dalam pendeteksian kecurangan. Untuk melakukan hal di atas, pembahasan didasarkan atas literatur-literatur profesional dan penelitian-penelitian empiris yang berkaitan. Dari uraian ini diharapkan agar didapatkan gambaran jelas dan komprehensif tentang masalah ini dan dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Untuk menjawab pertanyaan permasalahan di atas bukan merupakan tugas mudah mengingat literatur dalam bentuk opini maupun penelitian empiris maupun rangkuman penelitian amat tersebar-sebar dan dalam skop atau lingkup kecil. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan memetakan secara komprehensif faktor-faktor penyebab secara metatheory dan berdasarkan faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan yang mungkin diusulkan.

PERHATIAN LINGKUNGAN AUDIT TERHADAP KECURANGAN

Perhatian yang semakin besar atas kecurangan oleh para praktisi, akademisi, dan pemerintah beberapa dekade belakangan terjadi terutama oleh karena munculnya dua aspek yang berkaitan dalam lingkungan audit, yaitu expectation gap dan litigation crisis (Nieschwietz et al. 2000). Di Amerika Serikat, pada akhir tahun 1970an, Commisions on Auditors Responsibilities yang ditugaskan oleh AICPA atau sering disebut Komisi Cohen telah mengidentifikasi adanya suatu kesenjangan harapan atau expectation gap berdasarkan survei yang dilakukan mereka. Survei ini mengindikasikan bahwa standar yang diharapkan pengguna jasa auditor eksternal melebihi dari apa yang dipercaya para auditor dapat mereka berikan. Mayoritas pihak yang menggunakan dan mempercayai pekerjaan auditor eksternal menilai pendeteksian kecurangan sebagai tujuan yang paling penting dari suatu audit (AICPA 1978). Penelitian survei yang lain oleh Epstein dan Geiger (1994) mengindikasikan bahwa kesenjangan harapan itu masih terus ada. Mayoritas masyarakat investor yang disurvei menginginkan agar audit dapat memberikan keyakinan yang absolut (absolute assurance) agar laporan keuangan bebas dari semua jenis salah saji material baik kekeliruan (unintentional misstatements) maupun kecurangan.

Pihak profesi auditor eksternal, di pihak lain, cenderung untuk menekankan keterbatasan kemampuan auditor mendeteksi kecurangan dan tidak menanggapinya sebagai aspek positif (AICPA, 1978). Walaupun pada saat profesi pengauditan masih di tahap awal–tahun 1850 sampai awal 1900an-auditor bertugas memberikan keyakinan yang hampir absolut terhadap kecurangan dan mismanagement yang disengaja, namun dengan semakin perkembangnya perusahaan di Amerika Serikat maka terjadi pergeseran dalam pengauditan (Epstein dan Geiger, 1994). Cara pengauditan yang memverifikasi semua transaksi dan jumlah untuk maksud mendeteksi kecurangan telah bergeser menjadi pengauditan yang bermaksud menentukan kewajaran (fairness) pelaporan keuangan. Pergeseran ini merupakan tanggapan atas semakin banyaknya volume aktivitas bisnis di awal abad 20 (sehingga pendeteksian kecurangan menjadi tidak feasible) dan muncul dan semakin kuat peran pemegang saham. Pemegang saham dan pihak luar lainnya semakin mempercayakan auditor untuk melakukan atestasi informasi yang diberikan manajemen sehingga mengharuskan auditor menggeser tujuan utama audit yaitu untuk memberikan keyakinan untuk informasi keuangan kepada pihak eksternal. Praktik ini sampai sekarang masih berlaku dan tidak berbeda jauh dengan di awal abad lalu yaitu fokus utama audit adalah memberikan reasonableness atas laporan keuangan, seperti yang dipegang oleh AICPA.

Komisi Cohen menyebutkan walaupun harapan pengguna di atas cukup beralasan, namun banyak pengguna tampaknya salah memahami peran auditor eksternal dan sifat dari jasa yang auditor eksternal tawarkan (AICPA 1978). Epstein dan Geiger menyarankan untuk mempersempit kesenjangan itu, perlu ada upaya meningkatkan pemahaman masyarakat atas sifat dan keterbasan inheren dari suatu audit melalui pendidikan. Meski begitu, harapan masyarakat itu tetap harus diperhatikan, dan AICPA telah berusaha mengambil langkah positif untuk mengklarifikasi dan memperkuat standar pengauditan yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sesuai harapan masyarakat (Guy dan Sullivan 1988).

Aspek masalah kedua adalah krisis litigasi. Di Amerika Serikat, selama tahun-tahun 1970an dan 1980an, auditor eksternal mengalami peningkatan signifikan dalam biaya litigasi, sehingga mengarah pada litigation crisis. Palmrose (1987) menganalisis 472 kasus litigasi yang melibatkan 15 KAP terbesar selama periode 25 tahun sampai tahun 1985. Palmrose menemukan peran kecurangan dalam litigasi auditor adalah signifikan. Dengan menggunakan metode konservatif dalam menggolongkan suatu kasus sebagai kecurangan, Palmrose menunjukkan bahwa lebih dari 40% sampelnya melibatkan kecurangan. Lebih dari separuh dari semua kasus yang melibatkan kecurangan mengarah pada pembayaran settlement lebih dari $1 juta sedangkan kasus lainnya yang mengharuskan pembayaran sebesar ini hanya kurang dari 15% saja. Palmrose menyimpulkan bahwa kasus yang terlibat kecurangan adalah kontributor utama untuk kategori pembayaran yang lebih dari $1 juta sedangkan kasus yang terlibat kekeliruan adalah kontributor paling sering untuk kategori yang klaimnya ditolak (dismissal). Analisis Palmrose menunjukkan bahwa kasus-kasus kegagalan bisnis adalah yang paling sering ditolak jika kecurangan tidak terlibat di dalamnya. Studi Carcello dan Palmrose (1994) lebih lanjut memang menemukan asosiasi positif signifikan antara adanya ketidakberesan (irregularities) laporan keuangan dengan litigasi terhadap auditor. Selain itu Palmrose (1991) menunjukkan bahwa kecurangan juga mengarah pada meningkatnya publisitas tentang “kegagalan audit” (audit failures). Biaya yang ditanggung KAP maupun pihak profesi karena publisitas yang negatif ini tidaklah mudah dikuantifikasi. Walaupun demikian, dalam hal ini adalah aman untuk menyimpulkan bahwa biaya tidak langsung dari gagalnya pendeteksian kecurangan sungguh signifikan dalam profesi ini, sedangkan hasil utamanya adalah menambah kredibilitas untuk informasi yang dihasilkan.

Kasus kegagalan audit yang berlanjut pada litigasi juga ditemukan pada audit perusahaan di Indonesia. Berbagai kasus sejak kasus Bank Summa pada tahun 1992, dan berbagai kasus lain sesudahnya, meski hampir tidak ada melewati pengadilan, namun telah diganjar dengan berbagai sanksi, baik dari organisasi profesi yaitu IAI, pemerintah melalui menteri keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Berbagai kasus ini juga dapat digolongkan sebagai terkena risiko litigasi (Mayangsari dan Sudibyo 2006).

PERKEMBANGAN STANDAR-STANDAR PENGAUDITAN YANG MENGATUR PENDETEKSIAN KECURANGAN OLEH AUDITOR EKSTERNAL

Setelah Komisi Cohen mengeluarkan rekomendasi penting mengenai tanggung jawab auditor eksternal, di tahun 1980an dibentuk lagi komisi khusus yang bertugas untuk member rekomendasi atas upaya meningkatkan proses mendeteksi dan mengatasi pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan. Komisi yang bernama National Commission on Fraudulent Financial Reporting atau sering disebut Komisi Treadway ini di tahun 1987 menghasilkan rekomendasi penting yang terbagi tiga bagian berdasarkan pihak-pihak yang dituju, yaitu rekomendasi- rekomendasi kepada perusahaan publik, kepada pihak akuntan publik independen dan kepada Securities and Exchange Commission (SEC) dan pihak lainnya. Salah satu rekomendasi penting Komisi Treadway kepada pihak akuntan publik independen adalah perlunya perubahan standar pengauditan yang mengakui secara lebih baik tanggung jawab auditor untuk mendeteksi kecurangan atas laporan keuangan.

Sebagai tanggapan atas adanya expectation gap, AICPA pada tahun 1988 telah mengeluarkan standar pengauditan yang sering disebut the expectation gap auditing standards, yang terdiri sembilan standar. Salah satunya yaitu SAS No. 53, The Auditor’s Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities, - menggantikan standar sebelumnya SAS No. 16. Standar ini menjelaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal adalah untuk mendeteksi salah saji material. Hal ini dicapai dengan mendiskusikan karakteristik klien yang disebut red flag – yang meningkatkan risiko salah saji material dan harus meningkatkan sikap skeptisisme oleh auditor. Namun standar ini belum tegas atau eksplisit menggunakan istilah fraud atau kecurangan tetapi irregularities atau ketidakberesan. Menurut PSA No. 32 yang mengadopsi SAS No.53, ketidakberesan adalah salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja. Lebih lanjut ketidakberesan mencakup kecurangan dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan, yang seringkali disebut kecurangan manajemen dan penyalahgunaan aktiva, yang seringkali disebut sebagai unsure penggelapan.

Dalam perkembangannya, AICPA Expectation Gap Roundtable tahun 1992 memunculkan pertanyaan apakah SAS No. 53 telah secara efektif mampu mempersempit kesenjangan persepsi. Lebih lanjut, Public Oversight Board of the AICPASEC Practice menyimpulkan di tahun 1993 telah ada pendapat yang menyebar bahwa auditor harus mengemban tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya untuk mendeteksi management fraud. Akhirnya, Auditing Standard Board (ASB) menyimpulkan bahwa para praktisi tidak benar-benar memahami tanggung jawabnya dalam mendeteksi kecurangan, dan standar yang ada gagal untuk memberikan pedoman yang mencukupi tentang banyaknya tugas dan dokumentasi yang diperlukan dalam melaksanakan tanggung jawab itu (McConnell dan Banks, 1997).

Tahun 1997, ASB mengeluarkan SAS No. 82, Consideration of Fraud in Financial Statement Audit, untuk menggantikan SAS No. 53. Sesuai dengan judulnya standar secara eksplisit menunjuk pada kecurangan, dan di dalamnya mendeskripsikan kecurangan dan karakteristiknya, meminta agar dilakukan penilaian risiko kecurangan secara spesifik untuk tiap penugasan audit, dan memberikan pedoman kapan auditor mengidentifikasi faktor risiko kecurangan. Selain itu diberikan juga pedoman untuk pengevaluasian hasil, persyaratan untuk dokumentasi serta komunikasi mengenai kecurangan baik internal maupun eksternal.

Setelah terjadinya gelombang skandal akuntansi besar-besaran seperti kasus Enron di tahun 2001, perhatian publik memicu tindakan drastic oleh pemerintah dan kongres Amerika Serikat dengan mengeluarkan Undang- Undang Sarbanes- Oxley di tahun 2002. AICPA demikian pula menanggapi dengan merasa perlu untuk mengubah kembali SAS No. 82 menjadi SAS No.99 di tahun 2002. Perubahan ini banyak mengambil rekomendasi dari the Panel of Audit Effectiveness, suatu panel yang dibentuk atas inisiatif Ketua SEC Arthur Levitt untuk tujuan menilai apakah audit independen atas laporan keuangan perusahaan publik telah cukup melayani dan melindungi kepentingan investor (Pany dan Whittington, 2001). Masukan untuk SAS terbaru ini juga didapat dari berbagai penelitian oleh pihak akademisi. Terbitnya SAS No. 99 merupakan upaya terobosan baru untuk mengatasi kelemahan SAS No. 82. Walaupun standar baru ini tidak mengubah tanggung jawab pendeteksian kecurangan oleh auditor yang berlaku sebelumnya, tetapi standar ini memperkenalkan konsep, persyaratan dan panduan baru yang membantu auditor memenuhi tanggung jawabnya.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN PENDETEKSIAN KECURANGAN

Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor eksternal (selanjutnya disebut auditor). Atas literatur yang tersedia, dapat dipetakan empat faktor yang teridentifikasi yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebab tersebut diuraikan seperti dijelaskan di bawah ini.

Karakteristik Terjadinya Kecurangan

Terjadinya kecurangan sebenarnya berbeda dengan kekeliruan. Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian itu terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan, dan hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan, dia akan menipu dengan member informasi palsu atau tidak lengkap.

Johnson et al. (1991) menyebutkan ada tiga taktik yang digunakan manajer untuk mengelabui auditor. Taktik pertama adalah membuat deskripsi yang menyesatkan (seperti mengatakan perusahaan yang sedang menurun sebagai perusahaan yang bertumbuh) agar menyebabkan auditor menghasilkan ekspektasi yang tidak benar sehingga gagal mengenali ketidakkonsistenan. Taktik kedua adalah menciptakan bingkai (frame) sehingga menimbulkan hipotesis tidak adanya ketidakberesan (nonirregularities hypothesis) untuk evaluasi ketidakkonsisten yang terdeteksi. Taktik ketiga yaitu menghindari untuk memperlihatkan ketidakpantasan dengan membuat serentetan manipulasi kecil (secara individual tidak material) atas akun-akun tertentu dalam laporan keuangan sehingga membentuk rasionalisasi atas jumlah saldo yang dihasilkan. Dengan ketiga taktik ini, manajemen klien akan berhasil bila auditor menggunakan cara sederhana melalui representasi tunggal dalam menginterpretasikan ketidakkonsistenan yang terdeteksi. Hasil penelitian Jamal et al. (1995) menunjukkan bahwa sebagian besar auditor (dalam penelitian ini menggunakan partner) tidak mampu mendeteksi kecurangan dengan baik. Walaupun motivasi, pelatihan dan pengalamannya memadai, para partner yang diuji dapat dikelabui oleh bingkai dari manajemen klien.

Ketidakmampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan ini ada hubungan dengan keahliannya dibentuk oleh pengalaman yang relevan dengan kecurangan. Kecurangan itu sendiri frekuensi terjadinya jarang dan tidak semua auditor pernah mengalami kasus terjadinya kecurangan, sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan kecurangan tidak banyak. Loebbecke et al. (1989) yang melakukan survey atas 1.050 partner audit KPMG Peat Marwick menemukan adanya 77 kasus kecurangan yang pernah mereka alami. Jika dihitung dari jumlah audit sepanjang karir mereka maka insiden ditemukannya kecurangan menjadi sangat kecil (sekitar 0,32 persen). Dengan jarangnya mereka menghadapi management fraud sehingga jarang pula yang mempunyai latar belakang yang pantas yang mengarah pada kemampuan mendeteksi kecurangan. Dari hasil studi Johnson et al. (1991) dan Jamal et al. (1995), tampak bahwa pengalaman saja tidaklah cukup dalam mendeteksi kecurangan kecuali jika pengalaman itu diperoleh dari industri yang sama atau melalui penugasan yang melibatkan kekeliruan atau kecurangan yang material.

Selain itu, tugas pendeteksian kecurangan memerlukan pertimbangan yang melibatkan banyak isyarat (multi-cues judgment) yang secara inheren sulit untuk dilakukan tanpa didukung oleh alat bantu (decision aids), bahkan oleh orang yang pakar sekalipun (Eining et al. 1997). Akar dari masalah ini adalah keterbatasan kemampuan kognitif manusia dalam memproses informasi. Hackenbrack (1992) menunjukkan adanya efek dilusi dalam pertimbangan auditor. Adanya informasi yang tidak relevan (disebut juga bukti non diagnostik) yang bercampur dengan informasi relevan (bukti diagnostik atau red flag dalam pendeteksian kecurangan) akan mengakibatkan penilaian risiko kecurangan oleh auditor menjadi kurang ekstrim. Penilaian risiko yang tidak sensitif ini akan berakibat serius bagi tugas pendeteksian kecurangan.

Standar Pengauditan Mengenai Pendeteksian Kecurangan

Dalam pendeteksian kecurangan yang menjadi masalah bukanlah ketiadaan standar pengauditan yang memberikan pedoman bagi upaya pendeteksian kecurangan, tetapi kurang memadainya standar tersebut memberikan arah yang tepat. Hal ini terlihat dari uraian perkembangan standar pengauditan di depan yang menunjukkan usaha untuk terus-menerus memperbaiki standar yang mengatur pendeteksian kecurangan. Perbaikan ini terutama timbul dari kenyataan bahwa tanggung jawab pendeteksian kecurangan pada praktek belum cukup efektif dilaksanakan. Keluarnya SAS No. 53 menjawab tantangan kesenjangan harapan dengan secara signifikan meningkatkan tanggung jawab auditor berkaitan dengan kecurangan. Dalam standar ini ditegaskan auditor harus menilai risiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. Berdasarkan penilaian ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan kecurangan yang material atas laporan keuangan. SAS No. 53 memandang persyaratan (requirement) terhadap kekeliruan sama dengan kecurangan. Namun menurut Loebbecke et al. (1989) setahun setelah standar ini terbit, kedua jenis salah saji ini sama sekali berbeda. Demikian pula persyaratan atas dua jenis ketidakberesan yaitu defalcation dan management fraud juga berbeda. Loebbecke et al. percaya bahwa mendeteksi kekeliruan yang material lebih langsung (straightforward) dan mudah dilakukan. Sebabnya adalah pertama, kekeliruan terjadi tanpa adanya penyembunyian sehingga dapat terungkap begitu bukti-bukti diuji. Kedua, bila kekeliruan dalam jumlah kecil-kecil dijumlahkan menjadi jumlah yang material, sangat mungkin satu atau lebih bagian bukti yang mengandung kekeliruan akan diuji oleh auditor. Ketiga yaitu jika satu atau lebih kekeliruan itu secara sendiri-sendiri jumlahnya besar maka mungkin saja detil transaksi atau akun yang berhubungan akan dipilih untuk diuji auditor.

Walaupun SAS No. 53 ini telah memuat sejumlah faktor-faktor yang dapat mengindikasi adanya salah saji material, namun menurut Loebbecke et al. standar ini tidak secara spesifik memberitahukan cara faktor-faktor ini digunakan untuk membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan serta bagaimana hasil dari tinjauan atas faktor-faktor tersebut diterjemahkan menjadi kecenderungan (likelihood). Berdasarkan penelitiannya, Loebbecke et al. menyarankan agar auditor membuat penilaian yang terpisah atas kekeliruan yang material, penggelapan (defalcation) yang material dan kecurangan manajemen yang material. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara penilaian risiko terhadap salah saji yang sengaja dan tidak sengaja pada SAS No. 53 ini, juga terbukti dalam penelitian Zimbelman (1997) tidak mendorong auditor untuk sensitif terhadap risiko kecurangan.

Perubahan SAS No. 53 menjadi SAS No. 82 berusaha mengatasi kelemahan di atas. SAS No. 82 meminta penilaian risiko kecurangan dilakukan secara eksplisit dan terpisah. Auditor juga diminta untuk mendokumentasikan penilaian risiko kecurangan secara terpisah. Zimbelman (1997) dalam penelitiannya mengatakan standar ini harusnya dapat mengarahkan audit untuk memberi banyak waktu membaca isyarat kecurangan dan merancang rencana audit yang lebih sensitif terhadap risiko kecurangan. Seperti terbukti dari penelitian Zimbelman ini, SAS No. 82 memang cukup berhasil mengarahkan auditor untuk memperhatikan kecurangan. Namun SAS No. 82 ini, seperti didapat dari penelitian Zimbelman dan kemudian Glover et al. (2003), tidak cukup untuk mendorong auditor untuk mengubah sifat auditnya sebagai tanggapan atas perubahan risiko kecurangan yang dipersepsikan, sehingga mereka tidak memilih prosedur audit yang berbeda. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas SAS No. 82 dalam membantu meningkatkan pendeteksian kecurangan. Dengan kata lain, dengan standar ini auditor memang melakukan upaya lebih, tetapi mereka tetap mempertahankan strategi audit yang konstan yang kemungkinan tidak efektif untuk mendeteksi kecurangan. The Panel of Audit Effectiveness (PAE) berpendapat serupa yaitu proses penilaian risiko dan tanggapannya menurut SAS No. 82 ini tidak efektif karena hal ini tidak “mengarahkan prosedur audit secara spesifik terhadap pendeteksian kecurangan”. PAE juga menyatakan standar pengauditan yang ada merupakan pedoman yang tidak mencukupi dalam mengimplementasikan konsep skeptisisme profesional (Pany dan Whittington 2001).

Perubahan SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 banyak menyerap rekomendasi yang diberikan PAE, sehingga merupakan upaya perbaikan yang signifikan dalam standar pengauditan. SAS No. 99 ini dirancang untuk emperluas prosedur audit yang berkenaan dengan kecurangan material pada laporan keuangan. Standar baru ini mempertimbangkan kecurangan secara menyatu dalam proses audit dan secara terus-menerus dimutakhirkan sampai selesainya audit. Dalam standar ini diuraikan proses dimana auditor (1) menyajikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi risiko salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan, (2) menilai risikorisiko tersebut setelah mengevaluasi program dan pengendalian oleh entitas dan (3) menanggapi hasil dari penilaian tersebut. Auditor menyajikan dan mempertimbangkan lebih banyak informasi dalam menilai risiko kecurangan daripada yang pernah dialami di masa-masa sebelumnya. Selain itu juga auditor diminta mendokumentasikan penilaian mereka secara eksplisit dalam kertas kerja.

SAS No. 99 ini mengingatkan auditor untuk mengatasi kecenderungan alami mereka seperti terlalu percaya pada representasi klien dan bias dan pendekatan audit mereka dengan sikap skeptis dan pikiran yang mempertanyakan. Hal yang penting juga adalah auditor harus menyesampingkan hubungan masa lalu dan tidak menganggap klien jujur.

Persyaratan yang baru dalam SAS No. 99 ini adalah meminta tim audit agar berdiskusi selama tahap perencanaan mengenai potensi salah saji material karena kecurangan. Diskusi ini dilakukan dengan cara brainstorming yang diharapkan mencapai dua tujuan. Pertama, bersifat strategic yaitu agar tim penugasan mendapat pemahaman yang lebih baik atas informasi yang dipunyai dari anggota tim yang berpengalaman tentang pengalaman mereka dengan klien dan bagaimana kecurangan mungkin terjadi dan disembunyikan. Tujuan kedua adalah menetapkan “tone at the top” yang sepantasnya dalam melaksanakan penugasan audit. Cara ini adalah usaha untuk memodelkan derajat skeptisisme profesional yang tepat dan menetapkan budaya atas penugasan. Budaya ini dipercaya akan merasuk dalam ke seluruh penugasan sehingga membuat semua prosedur audit lebih efektif (Ramos 2003).

Auditor menurut standar baru ini perlu memperluas lingkup informasi yang mereka gunakan untuk menilai risiko salah saji material karena kecurangan, diluar faktor-faktor risiko kecurangan yang terdapat pada SAS No. 82. Faktor-faktor risiko kecurangan itu adalah “kejadian-kejadian atau kondisi yang mengindikasikan insentif/tekanan untuk mendorong kecurangan, kesempatan untuk melaksanakan kecurangan, atau sikap/rasionalisasi untuk membenarkan atau menjustifikasikan tindakantindakan kecurangan” (para. 31). Walaupun faktor- faktor risiko kecurangan tidak harus mengindikasikan kecurangan ada, tetapi faktor-faktor itu sering ada bila bila kecurangan terjadi, sehingga menjadi elemen penting yang dipertimbangkan dalam ruang lingkup perikatan audit.

Selanjutkan auditor diminta untuk mempertimbangkan program dan pengendalian oleh manajemen berkenaan dengan risiko dan menentukan apakah program dan pengendalian itu memperbaiki atau memperburuk risiko yang teridentifikasi. Auditor juga dipersyaratkan agar membangun tanggapan yang tepat atas tiap risiko yang teridentifikasi. Prosedur yang direncanakan harus mempertimbangkan risiko manajemen mengesampingkan pengendalian. Prosedur itu juga mencakup pengujian ayat jurnal dan penyesuaian lain, mereviu estimasi akuntansi atas bias yang terjadi dan mengevaluasi penjelasan bisnis atas transaksi material yang tidak biasa.

Banyak hal-hal baru dalam standar ini dan membawa harapan bagi perbaikan. Carpenter (2007) dalam upaya menguji efektivitas dari salah satu aspek dari SAS No. 99 yaitu penggunaan sesi brainstorming mendapatkan bahwa brainstorming amat berguna dalam melakukan pertimbangan mengenai kemungkinan kecurangan. Hasil dari eksperimen yang dilakukan Carpenter menyarankan meskipun jumlah dari ide-ide yang dihasilkan berkurang, tim audit yang mengadakan brainstorming menghasilkan ide-ide kecurangan yang berkualitas lebih banyak daripada auditor secara individual menghasilkan ide-ide tersebut sebelum sesi brainstorming. Tim audit menghasilkan ideide

kecurangan berkualitas baru selama sesi brainstorming. Hasil-hasil ini juga menunjukkan penilaian risiko kecurangan yang dihasilkan setelah sesi brainstorming secara signifikan lebih tinggi dari penilaian yang dilakukan auditor secara individual sebelum sesi brainstorming, khususnya bila kecurangan itu memang ada. Hasil ini menunjukkan sesi brainstorming cenderung meningkatkan kemampuan auditor mengidentifikasi kecurangan. Harapan perbaikan dengan berlakunya SAS No. 99 ini amat diharapkan seiring dengan diterapkannya cara-cara baru oleh para auditor dalam penugasan.

Tekanan Kompetisi atas Fee Audit

Kompetisi yang semakin tajam di antara kantor akuntan publik untuk memperebut klien memang tidak terhindarkan lagi dalam bisnis jasa akuntansi. Namun hal ini mempunyai implikasi yang perlu menjadi perhatian oleh pihak profesi akuntan publik yaitu kompetisi yang semakin tajam akan mengakibatkan penekanan untuk penurunan fee audit. Tekanan ini akan mengakibatkan KAP mengurangi pekerjaan audit untuk mempertahankan marjin labanya (AICPA 1978) dan mengarah pada perubahan baik atas kejadian kecurangan maupun pendeteksian kecurangan. Untuk menjaga agar marjin laba tetap menguntungkan, maka biaya harus ditekan dan efisiensi diutamakan. Di pihak lain pendeteksian kecurangan yang ekstensif memakan biaya besar dan tidak efisien. Melaksanakan pendeteksian kecurangan mungkin efektif untuk kasus audit yang mengandung kecurangan, namun tidak akan efisien pada kasus pengauditan pada klien yang tidak terjadi kecurangan. Banyak manajemen KAP keberatan atas pelaksanaan pendeteksian kecurangan yang terlalu ekstensif dilatarbelakangi oleh hal ini.

Tekanan kompetisi jelas membawa konsekuensi bagi kualitas pekerjaan auditor eksternal. Studi eksperimen ekonomi oleh Matsumura dan Tucker (1992) menunjukkan beberapa hal tentang masalah ini. Dalam penelitian ini mereka memanipulasi penalti atas auditor, persyaratan pengauditan, struktur pengendalian internal, dan fee audit untuk menguji efek dari dari variabelvariabel ini terhadap pendeteksian kecurangan dan kejadian atau insiden kecurangan. Mereka menemukan kenaikan pada penalti atas auditor menghasilkan penurunan terjadinya kecurangan dan meningkatkan usaha pendeteksian kecurangan. Demikian pula kenaikan dalam jumlah minimum pengujian atas kecurangan meningkatkan pendeteksian kecurangan dan menurunkan terjadinya kecurangan, serta pengendalian internal yang lebih kuat mengarah pada pendeteksian kecurangan yang lebih sering dan menurunkan terjadinya kecurangan. Temuan eksperimen ekonomi, menunjukkan hal penting yaitu peningkatan fee audit menghasilkan penurunan pada kecurangan dan peningkatan jumlah pengujian transaksi dengan pengujian yang lebih sedikit secara keseluruhan. Dengan hasil ini, adanya penurunan fee akan berakibat kenaikan insiden kecurangan dan penurunan upaya pendeteksian kecurangan, dan berarti turunnya kualitas audit.

Tekanan Waktu

Tekanan waktu (time pressure) adalah cirri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu penyelesaian audit membuat auditor mempunyai masa sibuk yang menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi banyak berpendapat bahwa tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan audit.

Berkaitan dengan ini, penelitian oleh Braun (2000) mengilustrasikan salah satu efek dari tekanan waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Braun menunjuk bahwa pengauditan dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah tekanan waktu, beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Braun menguji hipotesisnya yaitu bila tekanan waktu ditingkatkan dalam lingkungan multi tugas, kinerja tugas yang lebih rendah/subsidiary (yaitu sensitivitas terhadap isyarat kecurangan) akan menurun sedangkan kinerja tugas yang dominan (mendokumentasi bukti) akan tetap tidak berubah. Hasil penelitian menunjukkan auditor yang berada di bawah tekanan waktu yang lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi kinerja auditor yang berkaitan dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan jumlah salah saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam bidang psikologi yang memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian bila seseorang diperhadapkan dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa tekanan waktu akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal kecurangan dalam bukti audit.

Hubungan Auditor-Auditee

Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam mendeteksi kecurangan. Beberapa riset (contohnya Hooks et al. 1994) melaporkan adanya peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu (1) komunikasi dengan personel klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan menerima komunikasi sensitif dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya hubungan antara auditor dengan orang yang mengetahui adanya tindakan perbuatan salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu dipengaruhi oleh pemahaman orang yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang memperoleh keuntungan dari tindakan salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau keduanya. Hal yang terakhir ini relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen, karena kecurangan sering melibatkan (paling tidak) keuntungan

jangka pendek bagi pelakunya, perusahaan dan orang yang mengetahuinya. Hasil temuan Schultz dan Hooks (1998) mendukung hal (2) di atas dan mereka menyimpulkan semakin kuat hubungan antara karyawan klien yang mengamati tindakan kecurangan dengan auditor, maka lebih cenderung pengamat melaporkan tindakan salah (wrongdoing).

Walaupun kedekatan hubungan antara auditor dengan auditee mempunyai implikasi atas independensi dan obyektivitas auditor, namun Schultz dan Hooks berargumen kedekatan ini memperkuat kepercayaan dan komunikasi sehingga komunikasi sensitif akan diperlakukan bijaksana dan tindakan tepat dapat dilakukan dengan cara diplomatis namun efektif. Meningkatnya komunikasi ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan keuangan. Komunikasi ini juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan dibandingkan menggunakan metode dokumenter.

Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang menghambat komunikasi yang baik ini. Schultz dan Hooks menjelaskan salah satu sebabnya adalah tekanan kompetisi yang menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada usaha mengejar pendapatan. Auditor lebih dituntut untuk mencapai efisiensi audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan dengan klien tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu banyaknya perputaran para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin hubungan baik dengan manajemen puncak klien. Klien juga banyak yang berpindah auditor, dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini juga menimbulkan masalah serius.

METODE DAN PROSEDUR AUDIT YANG TIDAK EFEKTIF DALAM PENDETEKSIAN KECURANGAN

Komisi Cohen di tahun 1978 telah menyebutkan bahwa metode dan prosedur audit yang tradisional tidaklah selalu dapat memberikan keyakinan yang seharusnya diberikan dalam upaya pendeteksian kecurangan (AICPA 1978). Komisi ini menyarankan agar auditor menaruh perhatian atas efektivitas teknik pengauditan konvensional dan perlunya pengembangan teknik yang baru. Sampai sekarang memang permasalahan satu ini masih terus diusahakan baik oleh para praktisi maupun akademisi. Standar pengauditan tentang pendeteksian kecurangan seperti diuraikan di depan memang tidak banyak membantu dalam mendorong penggunaan teknik pengauditan baru ini. Salah satu penjelasan atas adanya temuan penelitian Zimbelman (1997), tentang tidak berubahnya sifat dari rencana audit walaupun SAS No. 82 telah membuat auditor sadar akan risiko kecurangan, adalah auditor benar-benar tidak mengetahui bagaimana mengubah program audit mereka agar dapat secara efektif mendeteksi kecurangan (Hoffman 1997). Zimbelman sendiri berdasarkan kesimpulan ini mendukung perlu adanya pendekatan audit baru yang tidak statis dengan adanya risiko kecurangan.

Beberapa peneliti telah memberi masukan penting tentang hal ini. Johnson et al. (1991) yang mengambil subyek para partner audit menemukan bahwa partner yang mampu melihat isyarat (cues) melalui suatu “fault” model dapat mengatasi framing effect dan mampu mendeteksi kecurangan, dibanding partner yang menggunakan “functional” model. Fault model yaitu model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan. Fault model ini diperoleh melalui pengalaman di bidang industri tertentu atau melalui pengalaman atas penugasan yang pernah terjadi kekeliruan atau kecurangan yang material. Model ini memungkinkan auditor memfokuskan

diri pada di mana manipulasi terjadi, sehingga skeptisisme yang sepantasnya dapat diterapkan. Sedangkan model fungsional memberikan ekspektasi berdasarkan hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan marjin laba. Model fungsional ini adalah model yang terdapat pada metode dan prosedur audit tradisional yang biasa dikenal

Studi yang lain, memberikan pembedaan yang senada yaitu oleh Erickson et al. (2000) yang mencatat perbedaan antara bukti yang berdasar transaksi (transaction-based evidence) dan bukti yang berdasar pemahaman bisnis (business understanding-based evidence). Dalam studi mereka yang dilakukan berdasarkan audit atas Lincoln Savings and Loan, mereka mengilustrasikan bahwa auditor perlu memperoleh suatu pemahaman eksternal atas bisnis klien secara ekonomi dan mengintegrasikan pemahaman ini dengan bukti-bukti internal. Studi ini memberikan bukti dalam kasus Lincoln Savings and Loan, transaksi yang mengandung kecurangan dipandang telah dicatat secara benar oleh auditor karena mereka hanya berfokus pada bentuk akuntansi transaksi-transaksi dan tidak melihat substansi ekonomi dari perjanjian-perjanjian bisnis yang terjadi. Peneliti berargumen jika substansi ekonomi dari transaksi itu benar-benar dipertimbangkan maka auditor dapat waspada terhadap kemungkinan adanya pelaporan yang mengandung kecurangan. Menurut Erickson et al., pemahaman tentang bisnis klien hanya sepintas

saja disinggung dalam standar pengauditan yang ada, dan evaluasi atas substansi transaksi yang didasarkan atas pengetahuan mengenai bisnis klien sama sekali tidak dibicarakan. Demikian pula, SAS No. 82 kurang memberikan panduan dalam memahami bisnis klien baik berdasarkan data internal maupun eksternal. SAS No. 82 juga tidak memuat apapun atas integrasi analisis datadata tersebut dengan prosedur terinci yang dilaksanakan.

Erickson et al. merekomendasikan pendekatan baru terhadap praktek pengauditan yang secara eksplisit menanggapi atas beberapa hal yang dikemukakan mereka. Pendekatan yang melaksanakan audit dengan suatu sudut pandang strategis ini mempertimbangkan strategi bisnis klien dan keterhubungannya dengan industri dan ekonomi keseluruhan. Pendekatan yang disebut strategic-risk approach atau business risk audit model (Knechel 2000 dan Eilifsen et al. 2001) ini mempercayai evaluasi praktik akuntansi didasarkan atas pemahaman bisnis daripada sekedar evaluasi bisnis yang hanya berdasarkan atas prosedur akuntansi.

ANALISIS ATAS UPAYA PERBAIKAN DALAM PENDETEKSIAN KECURANGAN

Identifikasi atas faktor-faktor penyebab yang diuraikan sebelumnya menjadi dasar untuk kita memahami kesulitan dan hambatan auditor menjalankan tugasnya dalam mendeteksi kecurangan. Meski demikian faktor-faktor itu tidaklah menjadi alasan untuk menghindarkan upaya pendeteksian kecurangan yang lebih baik. Berikut analisis atas masing-masing faktor tersebut.

Faktor pertama yaitu karakteristik terjadinya kecurangan dan kemampuan auditor menghadapinya merupakan faktor tersulit diatasi. Seperti telah dikemukakan, pelatihan dan pengalaman audit saja tidak cukup bagi auditor untuk dapat membongkar pengelabuan atau penyembunyian yang disengaja melalui praktik kecurangan. Auditor berpengalaman terbaik adalah auditor yang sering menghadapi dan menemukan kecurangan, dan ini sedikit sekali ditemukan. Oleh karena upaya untuk memperbaiki kemampuan auditor tidak bisa bertumpu pada pelatihan dan pengalaman audit yang biasa. Perlu ada alat bantu (decision aids) yang memadai untuk membantu auditor memperbaiki kemampuan deteksinya.

Faktor kedua yaitu kurangnya standar pengauditan yang memberikan arahan yang tepat merupakan faktor yang relatif mampu ditanggulangi. Sudah ada upaya perbaikan dengan keluarnya standar pengauditan baru di Amerika Serikat yaitu SAS No. 99. Seperti dikemukakan di depan, terbitnya dan diterapkannya standar baru ini membawa harapan baru bagi perbaikan upaya dan peningkatan keahlian auditor. Berbagai cara dalam standar ini menggariskan perlu upaya peningkatan skeptisisme profesional sehingga meningkatkan kewaspadaan auditor atas kemungkinan kecurangan.

Faktor ketiga yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit merupakan faktor yang relatif dapat terkendalikan dan mampu diperbaiki. Lingkungan pekerjaan auditor harus diciptakan untuk mampu menghasilkan kualitas audit yang tinggi. Tiga aspek utama dalam lingkungan pekerjaan audit yaitu tekanan kompetisi atas fee audit, tekanan waktu dan hubungan auditor-auditee, dapat diatasi sepenuhnya oleh manajemen kantor akuntan publik (KAP). Ketiga aspek ini pada intinya berujung pada penekanan biaya atau efisiensi. Terdapat trade-off di sini di mana penekanan efisiensi yang berlebihan akan mengorbankan efektivitas audit. Meskipun demikian, bila hanya bertumpu pada kesadaran internal manajemen, upaya perbaikan belumlah cukup. Perlu adanya insentif dan disinsentif secara institusional yang mendorong manajemen mempertimbangkan trade-off dan memperbaiki kualitas audit. Sebagai contoh pemberian sanksi atau penalti bagi kegagalan audit merupakan suatu cara untuk mendorong auditor memperhatikan kualitas auditnya. Selain mekanisme pengawasan baik dari organisasi profesi maupun pemerintah melalui otoritas pasar modal menjaga agar kegagalan dapat dicegah dan ditemukan. Mekanisme tata kelola organisasi (corporate governance) oleh auditee yang dijalankan dengan efektif melalui komite audit juga akan mampu memantau dan memperhatikan proses pengauditan yang

sesuai harapan.

Terakhir faktor keempat yaitu metode dan prosedur audit dalam pendeteksian kecurangan merupakan faktor yang relatif dapat dan telah diperbaiki. Diterapkan pendekatan yang lebih bersifat holistik melalui metode yang berbasis risiko bisnis dan strategik dapat menjadi acuan sebagai metode yang baik. Meski banyak perdebatan tentang motivasi dan kemanfaatan metode baru ini, namun upayanya yang berusaha mengatasi kelemahan metode audit tradisional perlu diberikan dukungan. Beberapa KAP telah mengimplementasikan metode atau pendekatan baru ini, dan riset-riset terus berjalan untuk membuktikan manfaatnya.

KESIMPULAN

Dari uraian permasalahan-permasalahan dalam pendeteksian kecurangan yang dikemukakan di depan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) Pertimbangan atas kecurangan dalam pelaporan keuangan yang semakin meningkat belakangan ini timbul dari adanya upaya mempersempit kesenjangan harapan antara pengguna dengan pihak penyedia jasa pengauditan. Disamping untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas profesi akuntan public dan mengurangi biaya-biaya litigasi, 2) pendeteksian kecurangan dalam audit laporan keuangan oleh auditor perlu dilandasi dengan pemahaman atas sifat, frekuensi dan kemampuan pendetek sian oleh auditor. Sifat terjadinya kecurangan yang melibatkan penyembunyian dan frekuensinya jarang dihadapi auditor, seharusnya tidak membuat auditor berpuas diri dengan pengauditan yang ada sekarang. Permasalahan bahwa terdapat keterbatasan auditor dalam pelaksanaan pendeteksian kecurangan merupakan tantangan yang perlu dihadapi pihak profesi dan akademisi, 3) sejauh ini standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan telah terus-menerus diupayakan untuk memperbaiki praktek pengauditan yang berjalan. Patokan yang selalu diacu adalah efektivitas dari standar ini dalam mengarahkan keberhasilan pendeteksian kecurangan. Beberapa standar terdahulu kurang memberikan pedoman dalam memberikan arah pendeteksian kecurangan. Standar terbaru diharapkan membawa harapan baru dengan mengatasi kelemahankelemahan sebelumnya. Perlu lebih banyak risetriset empiris yang mendukung validitas atas efektivitas standar baru ini, seperti disarankan Bedard et al. (2001) dan diperlihatkan oleh riset Carpenter (2007). Khusus untuk di Indonesia, mengingat kegunaannya, ada baiknya Ikatan Akuntan Indonesia segera mengadopsi SAS No. 99 untuk menggantikan PSA No. 70 agar praktik pendeteksian kecurangan yang terbaru dapat diarahkan penerapannya, 4) permasalahan yang terdapat pada lingkungan pekerjaan audit bila tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk pada kualitas audit. Adanya tekanan kompetisi, tekanan waktu dan tekanan hubungan dengan klien demikian juga dapat berdampak pada keberhasilan pendeteksian kecurangan. Pihak KAP perlu terus-menerus menyadari masalah ini dan konsekuensinya serta menjaga agar tekanantekanan dalam lingkungan ini tidak bertambah buruk.

Hal yang masih banyak dikerjakan ke masa depan adalah mencari dan memperbaiki metode dan prosedur yang paling tepat dalam melakukan pendeteksian kecurangan. Metode dan prosedur tradisional tidaklah memadai dalam usaha pendeteksian kecurangan, sehingga riset-riset mendatang perlu menjawab tantangan ini.

DAFTAR PUSTAKA


American Institute of Certified Public Accountants

(AICPA). 1978. The Commission on Auditors

Responsibilities: Report, Conclusions,

and Recommendations. New York: AICPA.

______. 1988. Statement on Auditing Standards

(SAS) No. 53: The Auditors Responsibilities

to Detect and Report Errors and Irregularities.

New York: AICPA.

______. 1997. Statement on Auditing Standards

(SAS) No. 82: Consideration of Fraud in

Financial Statement Audit. New York:

AICPA

______. 2002. Statement on Auditing Standards

(SAS) No. 99: Consideration of Fraud in

Financial Statement Audit. New York:

AICPA.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).

2002. “Report to Nation”. http://marketplace.

cfenet.com/Download.asp.

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 2002.

Siaran Pers Badan Pengawas Pasar Modal,

27 Desember.

Bedard, J, R. Simnett dan J.A. DeVoe-Talluto.

”Auditors’ Consideration of Fraud: How

Behavioral Research Can Address the

Concerns of Standard Setters”. Advances in

Accounting Behavioral Research, Vol. 4: 77-

101.

Braun, R.L. 2000. “The Effect of Time Pressure on

Auditor Attention to Qualitative Aspects of

Misstatement Indicative of Potential Fraudulent

Financial Reporting” Accounting,

Organizations and Society, 25 (3): 243-259.

Carcello, J.V. dan Z. Palmrose.1994. “Auditor Litigation

and Modified Reporting on Bankrupt

Clients”. Journal of Accounting Research,

(Supplement): 1-29.

Carpenter, T.D. 2007. “Audit Team Brainstorming,

Fraud Risk Identification, and Fraud Risk

Assessment: Implications of SAS No. 99”.The

Accounting Review, 82 (5): 1119-1140.

Eilifsen, A., W.R. Knechel dan P. Wallage. 2001.

“Application of the Business Risk Audit

Model: A Field Study”. Accounting Horizons,

15 (September): 193-207

Eining, M.M., D.R. Jones dan J.K. Loebbecke.

1997. “Reliance on Decision Aids: An Examination

of Auditors’ Assessment of Management

Fraud”. Auditing : A Journal of

Practice & Theory 16 (Fall): 1-19.

Erickson, M., B.W. Mayhew dan W.L. Felix. 2000.

“Why Do Audits Fail? Evidence from

Lincoln Savings and Loan”. Journal of

Accounting Research, 38 (Spring): 165-194.

Epstein, M. dan M. Geiger.1994. “Investors View of

Audit Assurance: Recent Evidence of the

Expectation Gap”. Journal of Accountancy,

January: 60-66.

Glover, S.M., D.F. Prawitt, J.J. Schultz dan M.F.

Zimbelman. 2003. “A Test of Changes in

Auditors’ Fraud-Related Planning Judgment

since the Issuance of SAS No. 82.” Auditing : A Journal of Practice & Theory,

22 (September): 237-251.

Guy, D. dan J. Sullivan. 1988. “The Expectation

Gap Auditing Standards”. Journal of

Accountancy, April: 36-46.

Hackenbrack, K. 1992. “Implications of Seemingly

Irrelevant Evidence in Audit Judgment”.

Journal of Accounting Research, (Spring):

54-76.

Hoffman, V.B. 1997. “Discussion of the Effects of

SAS No. 82 on Auditors’ Attention to Fraud

Risk Factors and Audit Planning Decisions”.

Journal of Accounting Research, (Supplement):

99-104.

Hooks, K.L. 1994. “Enhancing Communication to

Assist in Fraud Prevention and Detection”.

Auditing : A Journal of Practice & Theory,

13 (Fall): 86-117.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 1993. Pernyataan

Standar Auditing (PSA) No. 32: Tanggung

Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan

Melaporkan Kekeliruan dan Ketidakberesan.

Jakarta: IAI.

____________. 2001. Pernyataan Standar Auditing

(PSA) No. 70: Pertimbangan atas Kecurangan

dalam Audit Laporan Keuangan.

Jakarta: IAI.

Jamal, K; P.E Johnson dan R.G. Berryman. 1995.

“Detecting Framing Effect in Financial

Statements”. Contemporary Accounting

Research, 12: 85-105.

Johnson, P.E., K. Jamal, dan R.G. Berryman. 1991.

“Effects of Framing on Auditor Decisions”.

Organizations Behavior and Human

Decision Process, 50: 75-105.

Knechel, W.R. 2000. “Behavioral Research in

Auditing and Its Impact on Audit

Education”. Issues in Accounting Education,

15 (4): 695-712.

Loebbecke, J.K., M.M. Eining dan J.J. Willingham.

1989. “Auditors’ Experience with Irregularities:

Frequency, Nature and Detectability”.

Auditing : A Journal of Practice &

Theory, 9 (Fall): 1-28.

Matsumura, E.M. dan R.R. Tucker. 1992. “Fraud

Detection: A Theoretical Foundation”.

Accounting Review, 67: 753-782.

Mayangsari, S dan B. Sudibyo. 2006. “An Empirical

Analysis of Auditor Litigation”. Jurnal

Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1): 65-86.

McConnell, D.K. dan G.Y. Banks. 1997.” Implementing

New Fraud Auditing Standard in

Your Auditing Practice”. Ohio CPA Journal,

July-September: 26-30.

National Commission on Fraudulent Financial

Reporting. 1987. Report of National

Commission on Fraudulent Financial

Reporting (Treadway Report). Washington

D.C.: U.S. Governmant Printing Office.

Nieschwietz, R.J., J.J. Schultz dan M.F. Zimbelman.

2000. “Empirical Research on External

Auditors’ Detection of Financial Statement

Fraud”. Journal of Accounting Literature,

19: 190-246.

Palmrose, Z. 1987. “Litigations and Independent

Auditors: the Role of Business Failure and

Management Fraud”. Auditing : A Journal

of Practice & Theory 6 (Spring): 90-103.

________. 1991. An Analysis of Auditor Litigation

Disclosures. Auditing : A Journal of Practice

& Theory, (Supplement): 54-71.

Pany, K.J. dan O.R. Whittington. 2001. “Research

Implications of the Auditing Standard

Board’s Current Agenda”. Accounting

Horizons, 15 (4): 401-411.

Ramos, M. 2003. Auditor’s Responsibility for Fraud

Detection. Journal of Accountancy, 195 (1):

28-36.

Schultz, J.J dan K.L. Hooks. 1998. The Effect of

Relationship and Reward on Reports of

Wrongdoing. Auditing: A Journal of Practice

& Theory, 17 (Fall): 15-35.

Zimbelman, M.F. 1997. The Effects of SAS No. 82

on Auditors’ Attention to Fraud Risk

Factors and Audit Planning Decisions.

Journal of Accounting Research, (Supplement):

75-97.